Lebih Berharga dari Kesendirian
Ada masa ketika seseorang memandang kesendirian sebagai anugerah. Ia hidup tanpa kekasih, tanpa pasangan, dan tanpa keterikatan apa pun selain pada dirinya sendiri. Ia tak perlu meminta izin untuk melakukan apa pun, tak perlu menyesuaikan jadwal, tak perlu menjelaskan mengapa ia ingin diam seharian atau mengapa ia ingin berjalan jauh tanpa arah. Dalam kesendirian, ia merasa bebas, leluasa, dan tenang.
Baginya, menjadi single bukanlah sebuah kekurangan. Justru ia menganggapnya sebagai ruang personal paling berharga yang memberinya kesempatan untuk mengenal dirinya lebih dalam. Ia bisa menyelami pikiran-pikiran terdalam, mendengarkan suara hatinya sendiri tanpa gangguan. Ia bisa fokus pada cita-cita, belajar mencintai dirinya sendiri, dan memperbaiki luka-luka lama yang belum sempat sembuh. Kesendirian seolah menjadi ruang suci tempat ia membangun versi terbaik dari dirinya.
Namun, malam-malam panjang seringkali membawa suara yang tak bisa diabaikan, yakni kesunyian. Ketika dunia mulai senyap, dan lampu-lampu kota tak lagi mampu menghibur, ia merasakan sesuatu yang menganga di dalam hati dan pikirannya—sebuah kekosongan yang tak bisa diisi hanya dengan kesibukan atau hobi. Ia mulai menyadari bahwa dalam kebebasan yang ia nikmati, terselip rasa sepi yang perlahan tumbuh menjadi rindu.
Rindu akan seseorang yang bisa ia peluk, rindu akan tawa yang dibagi, cerita yang saling mengisi, dan kehadiran yang tak sekadar datang, tapi menetap. Ia tidak lagi mencari sosok sempurna, namun ia menanti seseorang yang mampu membuat kesendiriannya tampak kecil di hadapan kebersamaan yang tulus. Seseorang yang dengannya, sunyi terasa hangat. Seseorang yang bisa ia genggam tangannya, dan berkata, "ternyata ada yang lebih berharga dari kesendirian."
Ia tahu, cinta yang dewasa tidak datang tergesa-gesa. Maka ia bersabar, tetap berjalan, tetap mencintai hidup, sambil membuka hatinya perlahan. Karena pada akhirnya, ia percaya: ketika waktunya tiba, akan ada satu jiwa yang hadir, bukan untuk merampas kebebasannya, tapi untuk menjadikannya rumah.
Dan ketika hari itu datang, ia tak lagi berkata, “Aku takut kehilangan kesendirianku yang berharga.”
Tapi justru, dengan tersenyum, ia berkata, “Aku rela melepaskannya, karena kini aku menemukan yang lebih berharga.”
Ditulis tahun 2k25