#Ratapan Hati yang Terluka adalah Pintu Menuju Tuhan
Di satu waktu aku merasakan hal yang belum pernah kualami
sebelumnya. Perasaan itu tampak begitu membebaniku dalam beraktivitas. Tidur
terasa sulit, makan terasa tidak nikmat, keseharian pun diurungi dengan lamunan
yang tidak terarah. Malu rasanya mengakui, tapi apa yang kurasakan itu memang
perasaan yang mungkin sudah terlintas dipikiran Anda. Perasaan semacam itu
biasanya disebut anak zaman sekarang dengan galau.
Madrasah Tsanawiyah adalah tempat ku menimba ilmu di masa
remaja awal. Di masa inilah awal mula perasaan semacam itu muncul. Ingin
rasanya mengisahkan apa yang menjadi sebab munculnya perasaan itu. Namun
tetapi, kata orang jangan terlalu membuka privasi diri kepada orang lain, Opah
Upin & Ipin juga pernah berkata “Biarlah rahasie”.
Singkat cerita, Madrasah Tsanawiyah sudah kulalui dan
mulai menyambung sekolah yang masih berbasis Islam, yakni Madrasah Aliyah.
Namun perasaan itu tetap ada dan tidak berubah. Sampai pada satu waktu,
perasaan itu mulai memudar dan digantikan oleh perasaan baru, yakni perasaan yang
dulu juga pernah kurasakan sebelum perasaan yang disebut dengan galau itu
muncul. Suka, suka dengan seseorang. Itulah yang kurasakan. Bahagia, senang, dan
damai. Namun pada akhirnya, kembali ke setting awal. Perasaan suka yang melahirkan
bahagia, senang, dan damai itu kembali berubah menjadi apa yang disebut dengan
perasaan galau.
Hal semacam ini berlawanan dengan narasi pada judul buku
RA. Kartini, Habis gelap terbitlah terang, karena apa yang kurasakan
diawal adalah kebahagiaan yang biasanya disandarkan pada kata kias terang. Sebaliknya
kata gelap dikiaskan pada makna gundah, galau, tidak bersemangat dan suram. Hal
ini membuatku berpikir bahwa apa yang kualami saat itu adalah kalimat
sebaliknya, yakni Habis terang, terbitlah gelap.
Aku mulai muak dengan keadaanku yang seperti itu. Akhirnya,
aku mulai mencari sesuatu yang dapat membuatku bahagia, tetapi tidak
menghantarkan kembali kepada kegalauan. Sesuatu yang mampu menopang perasaan
senang dan kedamaian. Aku mulai berpikir absolut. Pikiran yang semestinya
dipikirkan oleh seorang yang beragama. Aku ingin mengenal Tuhan yang
menciptakan ku, menciptakan perasaan yang pernah ku rasakan sebelumnya,
menciptakan sesuatu yang membuat perasaan itu muncul dalam diriku, aku mulai
ngelatur dalam konsep rohani.
Sejak saat itulah, ku perbaiki diriku dan aktivitas/ritual
keagamaan ku. Aku mulai merasakan perasaan cinta keilahian/ cinta trasendental.
Konsep semacam ini ingin ku dalami lagi, lagi dan lagi. Akhirnya aku
memberanikan diri membeli sebuah buku di media online. Buku itu adalah karya sufi
terkenal, Sang master cinta, beliau adalah Jalaluddin ar-Rumi. Buku yang ku
beli adalah terjemahan kitab Masnawi. Dalam buku tersebut dipaparkan
syair-syair monumental yang memiliki makna tentang keilahian. Bacaan yang selalu
kuingat adalah, ketika Rumi mengalami kegundahan, galau, dan kegelisahan hati
akibat tidak bisa menemui gurunya, perasaan itu berubah menjadi perasaan cinta ilahiah/trasendental.
Menurutku, apa yang dialami oleh Rumi juga kualami saat itu. Memang benar apa
kata Rumi, bahwa ratapan hati yang terluka adalah pintu menuju Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar